Baru-baru ini, tulisan dokter yang sulit dibaca mendadak viral di dunia maya. Pasalnya, foto yang diunggah akun twitter @juriglagu itu memperlihatkan kertas keterangan diagnosis penyakit berisi tulisan--lebih mirip corat-coret--serupa huruf "m" sambung.
Warganet yang penasaran akan maksud tulisan itu pun berspekulasi, ada pula yang berkelakar. Salah satu menulis, "Diagnosis sementara, cacingan mungkin,"sedangkan yang lain berkomentar, "M=mencret, tulisan mirip cacing jadi mencret karena cacing."
Ya, tulisan dokter memang susah ditebak. Antara rumit dan jelek, mirip cakar ayam. Mengundang pertanyaan apakah memang keharusan seorang dokter memiliki tulisan jelek?
Kepada detikHealth, Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, tulisan dokter sebetulnya tak melulu jelek.
"Nggak ada istilahnya identik dengan tulisan jelek. Handwriting itu kan macem-macem ya. Kalau mahasiswa saya tulisannya bagus ya bagus, kalau awalnya jelek ya jelek," ujar dr Ari.
Ruth Bracato, MD, dokter perawatan primer dari Mercy Medical Centre bahkan menyatakan bahwa tulisannya sewaktu kanak-kanak sangatlah bagus. Ia pernah memenangkan penghargaan tulisan tangan (penmanship) di sekolah dasar, hingga akhirnya tak terbaca seperti sekarang.
"Saya tahu orang lain kesulitan menguraikan catatan saya," kata Dr. Brocato pada Reader's Digest, sembari menambahkan bahwa dia biasanya bisa membaca tulisannya sendiri.
Jadi apa yang membuat tulisan dokter mirip cakar ayam?
Forbes mengutip penjelasan direktur medis Gary Larson dalam situs tanya jawab Quora. Menurut Larson, seiring proses mencatat yang padat ketika kuliah kedokteran, tulisan tangan seorang dokter terus memburuk dari waktu ke waktu. Bisa dibilang, kebiasaan menulis jelek tak bisa "tidak dipelajari".
Akan tetapi, ia menganggap penjelasan tradisional soal kebiasaan itu tak lagi relevan dengan masa kini. Larson bilang, dia berkuliah pada tahun 70-an. Sementara sekarang sudah memasuki era digital, di mana mahasiswa lebih banyak menggunakan perangkat ketimbang mencatat di buku.
Alasan yang lebih masuk akal, kata Dr. Brocato, adalah karena jam praktik yang panjang ditambah banyak tulisan berarti tangan akan terlalu lelah. "Jika Anda menulis secara harfiah selama 10 hingga 12 jam sehari dan Anda menulis dengan tangan, tangan Anda tak akan mampu melakukannya."
Alhasil, tulisan mirip cakar ayam dianggap lebih mudah dan ringkas.
Selain itu, faktor serba cepat dan keterbatasan waktu juga berpengaruh.
Dokter nyaris tak punya waktu rehat untuk meregangkan tangan, pun memperlambat tulisan agar tampak bagus. Sebab, waktu ideal konsultasi dokter adalah 20 menit per pasien.
Karenanya, mengingat waktu terbatas dan pasien lain menunggu, daripada berlama-lama menyempurnakan tulisan, dokter akan memanfaatkan momen untuk mendapatkan sekaligus memberi informasi ketika konsultasi.
Lagi pula, coba bayangkan. Apa jadinya jika dokter perlu menulis jelas nama pasien yang panjang atau istilah teknis kedokteran yang sulit macam "epididimitis". Karena itu, banyak tulisan dokter yang disingkat sehingga sulit dibaca
Misal, yang ditulis asal tapi diketahui maksudnya seperti Dolo Scanneuron menjadi Dolo. S. Chlorpromazin disingkat C.P.Z., dan Depo Provera ditulis Depo Profera. Pun menggunakan bahasa latin seperti QD yang berarti "satu hari".
Lantas, bagaimana jika tulisan jelek membuat resep jadi tak terbaca atau salah dipahami?
"Kalau sekarang sih udah era elektronik. Hal-hal seperti itu udah jarang, medical report sudah computerized," ujar dr Ari.
Memang, di zaman sekarang kemungkinan salah resep cukup jarang. Dokter masa kini dan pihak-pihak berkepentingan dibekali rekam medis elektronik untuk memperkecil peluang kesalahan.
Salah satu alasannya, Laporan tahun 2006 pernah menemukan bahwa lebih dari 7.000 orang meninggal tiap tahun akibat kesalahan medis yang disebabkan oleh tulisan tangan yang tidak terbaca.
Kendati begitu, mengetik bukan berarti sempurna dari kesalahan.Terlebih lagi prosesnya bisa lebih lambat dari menulis resep dan tak memungkinkan dilakukan jika pasien banyak.
Sebagai antisipasi, mengingat kesalahan membaca yang kecil bisa berkonsekuensi besar, Dr. Brocato mengatakan bahwa para dokter sangat berhati-hati dalam membuat resep. Misalnya, alih-alih menulis "mg" atau "mcg," ia akan menulis "miligram" atau "mikrogram".
Lagipula, kata dr Ari, apa yang tertulis di kertas resep semata-mata hanya digunakan sebagai alat komunikasi antardokter, perawat, dan apoteker. Para pelaku medis tersebut sudah terbiasa, dan lewat informasi seperti spesialis dokter dan usia pasien, mereka bisa mengenali obat dan diagnosis yang tertulis.
Untuk itu, lanjutnya, jika salah satu pihak merasa tidak jelas, maka ia harus segera menghubungi dokter terkait agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ini pun berlaku bagi pasien.
Dr Ari bilang, pasien perlu lebih aktif dan cerdas untuk mengetahui obat apa yang diresepkan. Dan ia mengaku lebih suka menjelaskan pada pasien terkait hal itu.
Artikel Asli